Gambaran untuk materi ini, peta Konsepnya sebagai berikut:
A. Pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf
3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf
B. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
1. Karakteristik tasawuf
2. Pentingnya tasawuf
3. Hubungan tasawuf dengan akhlak
C. contoh-contoh perilaku bertasawuf
1. tokoh-tokoh dalam tasawuf
2. maqamat-maqomat dalam tasawuf
D. Menerapkan tasawuf dalam kehidupan modern
1. hikmah bertasawuf
2. Contoh orang-orang yang bertasawuf
3. Peran tasawuf dalam kehidupan modern
adapun Materinya adalah sebagai berikut:
A. Pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
Dalam penjelasannya, Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa: Tidak
mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata
Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya
dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan
memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak
melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam
salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat
datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir
sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke
Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah
mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di
atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl
al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia
dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang
berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini
memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata
falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan
shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin
memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa
dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara
sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta
kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak
diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai
wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan
perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi
kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf
Hakikat dan Sejarah Tasawuf
Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat.
Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam.
Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan
Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja
dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai
terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan
istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan
tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi
dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan
objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk
ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani:
mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela.
Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi
pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan
asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang
atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur\'an,
dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in tidak otomatis
menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur
sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan
ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak
alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in?
Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak
membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal,
jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara
seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme,
materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya
materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para
Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku
yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak
meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan
sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya
hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan
tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk
mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf
adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim
as-Shufi (w. 150 H)
----
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak
dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha,
muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh
dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen
yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada
Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang
perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka
menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari
lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu
berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan
diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah
dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik
Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari
tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh
manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak
suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci.
Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada
fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan.
Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan
ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh
hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu
melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat
emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke
Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang
masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke
Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha
membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat
mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di
bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran
tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa
roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi.
Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu
datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya
roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana
dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan
menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan
Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu
dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui
kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat
pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama
Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang
dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi
pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini
timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada,
tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran
Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada
manusia disebut al-Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah
mengatakan, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat
dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
Kaum sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar
Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat
kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan
menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan,
digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka
kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan” (QS. al-Baqarah
115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.
Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan
manusia, “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada
pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam
diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang
mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam
dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri.
Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu
yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau
yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang
melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia,
tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut,
“Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan
manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas
mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir
ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan
Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa
dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain.
Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang
muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak
beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan
mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan;
dan inilah hakikat tasawuf.
3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf
sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang istilah-istilah dalam Tasawuf, ada baiknya mengikuti uraian berikut ini.
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan
dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan
penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu.
Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan
tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah
berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya
adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang
dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu
sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan
perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas
penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat,
membaca al-Qur’an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak
melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan
diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus
dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion
pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi
harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah
berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian
dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat
yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya
menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu
panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu
zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia
ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa,
shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat
hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan
dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur
dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid
dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan
kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu
diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan
berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi,
ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia
terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan
berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion
wara’. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan
syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak
makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa
mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia
menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia
tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban
agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak
meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar
bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan
menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar
dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan
kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan
ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri
sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok;
baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada
padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak
mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari
padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini
ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan
senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di
dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan
senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya
bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan
Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati
nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian
diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah
menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi
setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh
pengalaman-pengalaman tasawuf.
Adapun istilah-isilah yang berkaitan dengan tasawuf
1. maqam / maqamat
2. fana' dan baqa
3. ittihad
4. hulul
5. wihdatul wujud
6. zuhud
7. Mahabbah
B. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
1. Karakteristik tasawuf
Berdassarkan objek dan sasarannya tasawuf dikasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi, yaitu Tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
2. Tasawuf Amali, yaitu Tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan
beribadah, tujuannya agar diperoleh pengahayatan spiritual dalam setiap
melakukan ibadah.
3. Tasawuf Falsafi, yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pada
masalah-masalah metafisik (sesuatu yang diluar nalar dan rasio
manusia).
2. Pentingnya tasawuf
3. Hubungan tasawuf dengan akhlak
JAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 Response to "materi akidah akhlaq"
Posting Komentar